Oleh: Aromi Sirajuddin (Barlie)
Satuklikmedia.com, Makassar – Memasuki usia kemerdekaan ke-80, Indonesia menghadapi tantangan besar di era digital. Kemajuan teknologi yang membawa berbagai kemudahan kini dihadapkan pada risiko sosial, mental, dan budaya. Pertanyaannya, apakah masa depan digital akan menjadi harapan baru atau justru ancaman bagi generasi mendatang?
Di sudut-sudut kafe, ruang tamu rumah, hingga tengah keramaian acara keluarga, pemandangan yang kian akrab adalah manusia dengan kepala tertunduk. Bukan dalam doa, melainkan menatap layar. Dunia telah berubah. Kita hidup di era di mana sentuhan layar terasa lebih akrab daripada sentuhan tangan sesama manusia.
Inilah wajah digitalisasi—canggih, cepat, namun sunyi dan dingin.
Dunia di Ujung Jari
Digitalisasi bukan sekadar kemajuan teknologi, melainkan transformasi besar dalam cara manusia hidup, bekerja, dan berinteraksi. Dunia seakan mengecil hingga seukuran genggaman. Kita bisa belajar, berbelanja, berobat, bahkan bekerja dari balik layar.
Era digital membawa banyak kemudahan. Informasi tersedia dalam hitungan detik, komunikasi tak lagi dibatasi jarak, peluang ekonomi semakin terbuka. Siapa pun bisa membangun usaha dari rumah hanya dengan koneksi internet. Pendidikan menjadi lebih inklusif, layanan publik semakin efisien, dan kreativitas kian mudah tersalurkan lewat platform digital.
Revolusi besar juga terjadi di dunia kerja. Otomatisasi, artificial intelligence (AI), dan cloud computing mengubah wajah industri. Pekerjaan menjadi lebih cepat dan akurat. Digitalisasi memberi manusia “kekuatan super” dalam hal akses, efisiensi, dan skala.
Sunyinya Kehidupan Sosial
Namun, di balik terang, ada sisi gelap yang tak bisa diabaikan. Dunia maya yang semula hanya alat bantu, perlahan berubah menjadi dunia utama. Interaksi manusia kian berkurang. Percakapan di meja makan tergantikan notifikasi, tatapan mata berubah menjadi emoji, empati tumpul digantikan komentar singkat atau sekadar “like”.
Ketergantungan pun tumbuh. Banyak yang tak bisa tidur tanpa mengecek media sosial. Anak-anak tumbuh tanpa bermain lumpur atau berlari di lapangan, karena waktunya habis di depan layar. Masyarakat menjadi terhubung secara daring, namun terputus secara batin.
Di sisi lain, data pribadi menjadi komoditas, hoaks merajalela, privasi kian rapuh. Paparan standar palsu di dunia maya memicu kecemasan, depresi, hingga isolasi sosial. Pertanyaannya, ke mana kita akan melangkah?
Harapan atau Ancaman?
Masa depan digital bisa menjadi harapan jika digunakan bijak, namun bisa pula menjadi ancaman jika kita kehilangan kendali. Kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita yang mengendalikan teknologi, atau teknologi yang mengendalikan kita?
Digitalisasi seharusnya menjadi alat bantu, bukan penjara. Relasi manusia dan teknologi perlu diatur ulang—menjadikan digital sebagai pelengkap, bukan pengganti. Generasi muda perlu dibekali nilai kebersamaan, literasi digital yang tak hanya teknis, tapi juga etis dan sosial.
Cahaya di Tengah Gelap
Gelapnya dunia digital bukan untuk ditakuti, tetapi disadari. Kesadaran itu bisa menyalakan kembali cahaya melalui interaksi hangat, waktu tanpa layar, dan pemanfaatan teknologi untuk kemanusiaan.
Kita tidak bisa menolak kemajuan, tetapi kita bisa memilih bagaimana menjalaninya. Di tengah derasnya arus digital, yang terpenting adalah menjadi manusia yang benar-benar hadir—bukan sekadar online.
Leave a Reply