Makna Kemerdekaan di Balik Seragam Sekolah Gratis

Makna Kemerdekaan di Balik Seragam Sekolah Gratis Oleh: Taqwa Bahar (Wakil Ketua Pemuda ICMI Sulsel) Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan sebagai momentum untuk mengenang perjuangan para pahlawan. Proklamasi 1945 lahir dari pengorbanan, doa, dan semangat persatuan. Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari perjalanan panjang penuh darah dan air mata. Delapan puluh tahun telah berlalu sejak proklamasi dikumandangkan. Dalam rentang itu, Indonesia melewati fase-fase penting: Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Setiap periode membawa perubahan arah pembangunan, sistem politik, dan tantangan sosial-ekonomi. Reformasi, misalnya, membuka ruang demokrasi lebih luas, menghadirkan pemilu langsung, dan memperkuat otonomi daerah. Semua itu menegaskan bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan proses panjang menuju cita-cita sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Makna kemerdekaan sendiri terus berkembang seiring zaman. Jika dahulu diwujudkan melalui perlawanan fisik melawan penjajah, kini kemerdekaan harus diterjemahkan dalam kemampuan negara menjawab problem rakyat. Amanat konstitusi jelas: setiap kebijakan harus memberi dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Contoh sederhana bisa kita lihat dari program pembagian seragam sekolah gratis untuk siswa SD dan SMP di Kota Makassar. Sekilas, program ini tampak biasa. Namun bagi keluarga berpenghasilan rendah, kebijakan ini sangat berarti. Harga seragam mungkin sepele bagi yang mampu, tetapi bagi masyarakat kecil, bantuan ini meringankan beban ekonomi sekaligus menciptakan kesetaraan di sekolah. Tidak ada lagi perbedaan mencolok antar siswa karena faktor pakaian, dan semua anak dapat memulai pendidikan dengan pijakan yang sama. Inilah wujud nyata kemerdekaan di level paling dasar: negara hadir di tengah rakyat dengan kebijakan yang pro pada kaum lemah. Seragam gratis bukan sekadar pakaian, tetapi simbol bahwa setiap anak berhak merasakan kesempatan belajar tanpa terbebani oleh keterbatasan ekonomi. Kebijakan kecil dengan dampak besar ini sejalan dengan amanat UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus memuliakan warganya. Ketika Indonesia merayakan usia ke-80 tahun kemerdekaan, kita diingatkan bahwa perjuangan tidak pernah selesai. Jika para pahlawan dulu berjuang dengan bambu runcing, maka hari ini perjuangan diwujudkan melalui kebijakan publik yang adil, menyentuh kebutuhan dasar, dan berpihak pada rakyat. Kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari penjajahan, tetapi juga dari ketidakadilan dan kesenjangan. Pertanyaannya, sudahkah kebijakan yang kita lahirkan hari ini benar-benar memerdekakan rakyat dalam arti yang sesungguhnya?

Taqwa Bahar. Dok. Istimewa

Oleh: Taqwa Bahar
(Wakil Ketua Pemuda ICMI Sulsel)

Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan sebagai momentum untuk mengenang perjuangan para pahlawan. Proklamasi 1945 lahir dari pengorbanan, doa, dan semangat persatuan. Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari perjalanan panjang penuh darah dan air mata.

Delapan puluh tahun telah berlalu sejak proklamasi dikumandangkan. Dalam rentang itu, Indonesia melewati fase-fase penting: Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Setiap periode membawa perubahan arah pembangunan, sistem politik, dan tantangan sosial-ekonomi. Reformasi, misalnya, membuka ruang demokrasi lebih luas, menghadirkan pemilu langsung, dan memperkuat otonomi daerah. Semua itu menegaskan bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan proses panjang menuju cita-cita sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Makna kemerdekaan sendiri terus berkembang seiring zaman. Jika dahulu diwujudkan melalui perlawanan fisik melawan penjajah, kini kemerdekaan harus diterjemahkan dalam kemampuan negara menjawab problem rakyat. Amanat konstitusi jelas: setiap kebijakan harus memberi dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat.

Contoh sederhana bisa kita lihat dari program pembagian seragam sekolah gratis untuk siswa SD dan SMP di Kota Makassar. Sekilas, program ini tampak biasa. Namun bagi keluarga berpenghasilan rendah, kebijakan ini sangat berarti. Harga seragam mungkin sepele bagi yang mampu, tetapi bagi masyarakat kecil, bantuan ini meringankan beban ekonomi sekaligus menciptakan kesetaraan di sekolah. Tidak ada lagi perbedaan mencolok antar siswa karena faktor pakaian, dan semua anak dapat memulai pendidikan dengan pijakan yang sama.

Inilah wujud nyata kemerdekaan di level paling dasar: negara hadir di tengah rakyat dengan kebijakan yang pro pada kaum lemah. Seragam gratis bukan sekadar pakaian, tetapi simbol bahwa setiap anak berhak merasakan kesempatan belajar tanpa terbebani oleh keterbatasan ekonomi. Kebijakan kecil dengan dampak besar ini sejalan dengan amanat UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus memuliakan warganya.

Ketika Indonesia merayakan usia ke-80 tahun kemerdekaan, kita diingatkan bahwa perjuangan tidak pernah selesai. Jika para pahlawan dulu berjuang dengan bambu runcing, maka hari ini perjuangan diwujudkan melalui kebijakan publik yang adil, menyentuh kebutuhan dasar, dan berpihak pada rakyat.

Kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari penjajahan, tetapi juga dari ketidakadilan dan kesenjangan. Pertanyaannya, sudahkah kebijakan yang kita lahirkan hari ini benar-benar memerdekakan rakyat dalam arti yang sesungguhnya?

Leave a Reply