SATUKLIKMEDIA.COM, JAKARTA – Nilai tukar rupiah kembali menunjukkan penguatan pada awal pekan ini. Sentimen positif datang dari Amerika Serikat (AS) setelah Gubernur Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, dalam pidatonya di simposium Jackson Hole, memberikan sinyal kebijakan yang dinilai lebih “less hawkish” dibandingkan perkiraan pasar.
Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, menjelaskan bahwa respons pasar global terhadap pernyataan Powell cukup kuat. Dolar AS yang sempat kokoh dalam beberapa pekan terakhir justru melemah tajam usai pidato tersebut, sehingga memberikan ruang bagi mata uang emerging market, termasuk rupiah, untuk menguat.
“Powell menegaskan bahwa arah kebijakan moneter The Fed tidak kaku dan bergantung pada perkembangan data ekonomi. Hal itu memberi sinyal peluang pemangkasan suku bunga lebih besar pada September mendatang. Situasi ini menjadi angin segar bagi rupiah,” ujar Lukman kepada ANTARA, Senin (25/8/2025).
Isyarat Kebijakan Longgar
Dalam pidatonya, Powell menekankan bahwa kondisi perekonomian AS tengah menghadapi dilema. Di satu sisi, risiko inflasi diperkirakan cenderung meningkat, sementara di sisi lain pasar tenaga kerja mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Kombinasi dua faktor itu membuat ruang manuver The Fed semakin terbatas.
Meski tidak secara eksplisit mengumumkan rencana pemangkasan suku bunga, Powell membuka kemungkinan langkah tersebut diambil pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bulan September 2025. “Kami akan terus memantau data dan menyesuaikan kebijakan sesuai perkembangan risiko inflasi maupun lapangan kerja,” ujar Powell, sebagaimana dikutip Anadolu.
Pernyataan ini dianggap lebih dovish dibandingkan nada pidato-pidato sebelumnya yang cenderung tegas mempertahankan suku bunga tinggi demi mengendalikan inflasi. Perubahan sikap ini pun langsung ditangkap pelaku pasar sebagai indikasi relaksasi kebijakan moneter.
Rupiah Menguat 93 Poin
Di pasar domestik, respon positif terhadap sinyal The Fed terlihat jelas. Pada pembukaan perdagangan Senin pagi, rupiah terapresiasi 93 poin atau setara 0,57 persen. Nilai tukar bergerak ke posisi Rp16.258 per dolar AS, dibandingkan penutupan sebelumnya di level Rp16.351 per dolar AS.
Kenaikan ini menambah optimisme pasar setelah beberapa pekan terakhir rupiah sempat berada dalam tekanan akibat ketidakpastian global dan arus modal keluar. “Jika momentum penguatan ini bisa dipertahankan, rupiah berpeluang kembali bergerak stabil di kisaran Rp16.200–Rp16.300 per dolar AS dalam jangka pendek,” kata Lukman.
Pasar Global Menyambut
Selain rupiah, sejumlah mata uang utama lain juga mencatatkan apresiasi terhadap dolar AS. Euro, yen Jepang, dan poundsterling Inggris mengalami penguatan seiring melemahnya indeks dolar. Pasar obligasi AS juga menunjukkan pergerakan positif, dengan imbal hasil (yield) surat utang jangka panjang sedikit menurun sebagai refleksi ekspektasi pemangkasan suku bunga.
Menurut analis, jika The Fed benar-benar menurunkan suku bunga, dampaknya akan terasa luas, tidak hanya di pasar keuangan AS, tetapi juga bagi negara berkembang. Likuiditas global cenderung meningkat dan investor akan kembali melirik aset berisiko, termasuk pasar saham dan obligasi di Asia.
“Prospek pemangkasan suku bunga menjadi sentimen yang ditunggu banyak negara. Bagi Indonesia, hal ini bisa memperkuat arus modal masuk sekaligus mendukung stabilitas rupiah,” tambah Lukman.
Tantangan Masih Ada
Kendati demikian, penguatan rupiah masih dibayangi sejumlah tantangan. Faktor eksternal seperti ketegangan geopolitik, fluktuasi harga komoditas, serta dinamika politik dalam negeri menjelang tahun politik, masih berpotensi menekan stabilitas pasar keuangan.
Selain itu, meski Powell memberi sinyal dovish, keputusan final tetap akan bergantung pada data inflasi dan ketenagakerjaan AS dalam beberapa minggu ke depan. Jika data menunjukkan tren berbeda, The Fed bisa saja kembali mempertahankan sikap agresif.
“Pasar harus tetap waspada. Meski peluang pemangkasan suku bunga terbuka, tidak menutup kemungkinan The Fed memilih menunggu lebih lama untuk memastikan inflasi benar-benar terkendali,” ujar Lukman.
Dampak untuk Ekonomi Domestik
Penguatan rupiah tentu membawa dampak positif bagi perekonomian nasional. Nilai tukar yang lebih stabil akan menekan biaya impor, terutama bahan baku industri. Hal ini pada gilirannya berpotensi menahan tekanan inflasi dalam negeri.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) juga diharapkan dapat menjaga kebijakan moneter yang seimbang, agar arus modal asing tetap masuk tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi. “Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter akan menjadi kunci menjaga momentum penguatan rupiah,” jelas Lukman.
Menanti September
Kini, perhatian pasar tertuju pada rapat FOMC bulan September. Keputusan The Fed akan menjadi penentu arah pergerakan rupiah dan mata uang global lainnya. Jika pemangkasan suku bunga benar terjadi, rupiah diproyeksikan terus menguat, setidaknya dalam jangka pendek.
“Pasar menunggu kepastian. Namun, yang jelas, nada Powell kali ini memberi harapan baru. Rupiah mendapat ruang untuk bernapas lebih lega,” kata Lukman.
Dengan perkembangan ini, rupiah menutup pekan terakhir Agustus dengan nada optimistis. Meski jalan menuju stabilitas penuh masih panjang, sinyal dovish dari The Fed telah menjadi katalis penting yang meneguhkan kembali posisi rupiah di hadapan dolar AS.
Leave a Reply