Revolusi Indonesia: Menyulut Kesadaran, Bukan Sekadar Api Amarah

Revolusi Indonesia: Menyulut Kesadaran, Bukan Sekadar Api Amarah

Foto: Teguh Harisman (dok.ist)

(Oleh Teguh Harisman)

Setiap kali kata revolusi terucap, bayangan yang muncul sering kali hanyalah teriakan massa di jalanan, amarah yang membuncah, dan api yang melahap gedung-gedung negara. Seolah-olah revolusi hanyalah pesta pora kemarahan yang berakhir dengan kaca pecah, dinding penuh cacian, dan tanah yang bergetar oleh amukan tak terkendali. Tapi mari kita jujur: apakah itu benar-benar revolusi? Ataukah sekadar letupan emosi yang menyala sebentar lalu padam, meninggalkan puing tanpa arah? Sejarah telah memberi kita pelajaran keras: revolusi sejati tidak pernah lahir dari amarah sesaat, melainkan dari kesadaran panjang dan keberanian untuk memperbaiki diri sebelum berteriak ingin memperbaiki negeri.

Revolusi sejati bukanlah amuk massa. Ia bukan teriakan penuh caci-maki, bukan coretan penuh kebencian, dan bukan api yang membakar tanpa tahu apa yang akan dibangun setelah abu. Revolusi sejati adalah gerakan yang melahirkan solusi, bukan sekadar melampiaskan frustrasi. Perubahan besar tidak mungkin lahir dari dendam, sebab dendam hanya menghanguskan; ia tidak pernah menciptakan jalan keluar.

Revolusi yang benar harusnya tidak hadir dalam satu malam. Ia adalah proses panjang yang dimulai dari hal paling sederhana: keberanian untuk membenahi diri sendiri. Dari revolusi mental, revolusi sikap, hingga revolusi kebudayaan. Dari sana, barulah lahir kritik yang tajam namun solutif, bukan sekadar teriakan kosong tanpa arah.

Indonesia memang membutuhkan perubahan besar. Tapi perubahan itu tidak boleh tercerabut dari akarnya: budaya dan jati diri bangsa. Revolusi bangsa ini harus berlandaskan penghormatan, penghargaan, dan semangat kebersamaan. Kita berbeda-beda, tetapi tetap satu jua. Revolusi bukan milik satu kelompok, apalagi satu suara di jalanan, melainkan milik seluruh bangsa Indonesia.

Karena itu, lembaga negara seperti polisi dan DPR bukan untuk dihancurkan, melainkan untuk dituntut bekerja dengan kredibilitas dan integritas. Polisi harus menjaga rakyat dengan wajah beradab, bukan kekerasan. DPR harus menjadi suara rakyat dengan hati yang jernih, bukan sekadar kursi empuk penuh kepentingan. Begitu pula rakyat: menyuarakan aspirasi dengan cara yang bermartabat, bukan dengan anarki yang justru melukai nilai luhur bangsa.

Maka sebelum lantang meneriakkan kata revolusi, mari bercermin. Selain mengkritik di jalanan, revolusi juga harus dihadirkan dari kesadaran diri. Dari individu, ke keluarga, ke masyarakat, hingga akhirnya ke bangsa. Revolusi itu bukanlah amarah, melainkan kesadaran kolektif. Bukan bara yang membakar, melainkan cahaya yang menuntun. Revolusi sejati adalah keberanian menghadirkan Indonesia yang lebih adil, lebih bermartabat, dan lebih manusiawi—tanpa kehilangan akarnya: budaya bangsa.

Leave a Reply