SATUKLIKMEDIA.COM, MAKASSAR – Suasana peluncuran Gerakan Urban Farming Bukit Baruga yang dihadiri oleh Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, pada Senin, 15 September 2025, diwarnai sebuah momen unik dan penuh tawa. Di tengah deretan tanaman hijau dan buah-buahan segar, perhatian rombongan, khususnya para ibu, terhenti pada sebuah tanaman yang berbuah merah menyala. Bentuknya gempal dan padat, sekilas mirip buah stroberi yang ranum. Sontak, Bunda PKK Kota Makassar, Melinda Aksa, pun melontarkan prasangka lucu, yang segera ditanggapi oleh inisiator kegiatan. “Terpaksa saya mengeluarkan gaya silat, untuk merespon prasangka Ibu Ketua Penggerak PKK Kota Makassar, Melinda Aksa. Buru-buru saya menunjukkan bahwa ini adalah Cabe Katokkon bukan strawberry,” cerita Aslam Katutu, inisiator gerakan.
Kejadian kecil ini menjadi pintu masuk yang sempurna untuk memperkenalkan salah satu produk unggulan dari gerakan Urban Farming Bukit Baruga: Cabe Katokkon. Produk ini dikembangkan bersama produk unggulan lainnya, yakni Buah Anggur dan Ayam Kampung Yudistira, yang menunjukkan keragaman dan potensi besar dari proyek pertanian perkotaan ini.
Api dari Tanah Tinggi yang Menjelajah ke Dataran Rendah
Di balik penampilannya yang mungil, Cabe Katokkon menyimpan kisah dan kekayaan rasa yang luar biasa. Berasal dari dataran tinggi Tana Toraja, Sulawesi Selatan, cabai ini bagi masyarakat setempat dianggap sebagai permata pedas pegunungan. Bentuknya memang tidak seperti cabai pada umumnya; gemuk, gempal, dan padat berisi, dengan kulit tebal berwarna hijau tua saat masih muda dan berubah menjadi merah menyala ketika matang.
Ciri khas Cabe Katokkon adalah aromanya yang kuat dan pedasnya yang tajam, namun memiliki karakter yang dalam. Pedasnya tidak sekadar menyengat di lidah, tetapi juga meninggalkan jejak rasa gurih yang membuat masakan terasa lebih hidup. Dibandingkan dengan cabai rawit biasa, pedas Katokkon memiliki sensasi hangat yang bertahan lama di mulut dan perut.
Yang menarik, pengembangan Cabe Katokkon di Bukit Baruga ini merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan oleh Prof. Sudirman Numba, salah satu inisiator gerakan. Biasanya, cabai ini hanya tumbuh optimal di dataran tinggi seperti Tana Toraja dan Malino. Namun, komunitas ini sedang berupaya mengembangkannya juga di dataran rendah Kota Makassar, menunjukkan komitmen mereka pada inovasi dan adaptasi.
Dari Komoditas Pertanian Hingga Produk Olahan Unggulan
Gerakan Urban Farming di Bukit Baruga tidak berhenti pada budidaya. Komunitas ini juga fokus pada hilirisasi produk. Hasil panen cabai katokkon segar dikemas dalam plastik mika seberat 250 gram, siap untuk dipasarkan. Selain itu, mereka juga mengolahnya menjadi sambal Katokkon dalam botol kaca berukuran 250 ml.
Produk olahan ini menunjukkan bahwa urban farming dapat langsung menyentuh kebutuhan rumah tangga dan menjadi sumber pendapatan. “Ini salah satu produk unggulan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan rumah tangga. Dan bisa diproduksi oleh ibu-ibu rumah tangga dan menghasilkan cuan,” jelas Aslam Katutu.
Kisah Cabe Katokkon juga adalah cerminan dari identitas Toraja itu sendiri. Meskipun kini mulai dikenal di luar tanah kelahirannya, bahkan diminati di dunia kuliner internasional, cabai ini tetap dianggap sebagai simbol keteguhan dan kekuatan. Kecil, sederhana, tetapi menyimpan daya ledak yang luar biasa—mirip dengan orang Toraja yang gigih mempertahankan budaya di tengah arus modernitas.
Kisah “stroberi” yang ternyata cabai ini adalah bukti bahwa di balik setiap gerakan kecil, ada cerita besar tentang inovasi, budaya, dan semangat pantang menyerah. Inisiatif di Bukit Baruga ini tidak hanya tentang menanam, tetapi juga tentang menciptakan produk unggulan, memberdayakan masyarakat, dan membawa kekayaan lokal ke kancah yang lebih luas, membuktikan bahwa kemandirian pangan dan ekonomi bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana.
Leave a Reply