Anggota DPR Soroti Keras Penolakan Pasien Ibu Hamil di Jayapura: Indikasi Kegagalan Sistem Kesehatan

Anggota DPR Soroti Keras Penolakan Pasien Ibu Hamil di Jayapura: Indikasi Kegagalan Sistem Kesehatan

Foto : Ashabul Kahfi (ist)

pemkot-makassar

SATUKLIKMEDIA.COM, JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI, Ashabul Kahfi, mengecam keras dugaan penolakan layanan medis terhadap seorang ibu hamil di Jayapura yang berujung pada meninggalnya pasien bersama bayi yang dikandungnya. Menurutnya, kejadian tersebut tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun, terlebih menyangkut pelayanan gawat darurat yang merupakan kewajiban dasar setiap fasilitas kesehatan di Indonesia.

Ashabul menegaskan bahwa Undang-Undang Kesehatan telah mengatur secara jelas bahwa rumah sakit tidak boleh menolak pasien dalam kondisi darurat, tanpa memandang status administrasi, jenis pembiayaan, maupun kemampuan ekonomi pasien. Ketentuan itu, kata dia, bukan sekadar pedoman, tetapi mandat hukum yang harus ditaati oleh seluruh tenaga dan institusi kesehatan.

“Jika benar terjadi penolakan, apalagi dalam kasus pasien ibu hamil yang membutuhkan pertolongan cepat, itu bukan sekadar kesalahan rumah sakit tertentu. Itu sudah masuk kategori kegagalan sistem pelayanan kesehatan,” tegasnya saat dihubungi, Senin.

DPR Minta Kemenkes Turun Tangan Segera

Melihat kronologi peristiwa yang menyebabkan korban berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain tanpa menerima tindakan medis yang memadai, Ashabul meminta Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah melakukan investigasi menyeluruh. Ia menekankan perlunya audit cepat untuk mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran standar operasional, keteledoran tenaga kesehatan, atau masalah administratif yang semestinya tidak boleh muncul dalam pelayanan gawat darurat.

“Kita harus mengetahui secara pasti di mana letak kesalahan. Apakah ada rumah sakit yang menyalahi prosedur? Siapa yang mengambil keputusan sehingga pasien tidak segera ditangani? Semua itu harus jelas. Jika terbukti ada unsur kelalaian atau penolakan yang tidak sah, maka sanksi tegas wajib diberikan,” ujar Ashabul.

Ia juga mengingatkan bahwa Komisi IX DPR RI memiliki fungsi pengawasan terhadap program kesehatan dan pelayanan publik. Karena itu, pihaknya akan memastikan kasus tersebut ditangani secara serius agar tidak terulang di daerah lain.

Kronologi Tragis di Jayapura

Kasus ini mencuat setelah seorang ibu muda asal Kampung Hobong, Kabupaten Jayapura, Irene Sokoy, dilaporkan meninggal dunia bersama janin yang dikandungnya setelah berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya tanpa mendapatkan layanan medis yang dibutuhkan.

Menurut keterangan keluarga dan warga setempat, Irene mulai merasakan kondisi darurat sejak dini hari. Ia pertama kali dibawa ke RS Yowari, namun dari fasilitas tersebut ia dirujuk ke RS Abepura. Bukan mendapatkan penanganan, ia justru kembali diarahkan ke RS Dian Harapan. Namun di rumah sakit tersebut pun ia belum memperoleh layanan yang diperlukannya.

Upaya keluarga berlanjut dengan membawa Irene ke RS Bhayangkara, namun lagi-lagi mereka tidak mendapatkan kepastian penanganan medis. Dari sana, rujukan kembali diberikan menuju RSUD Dok II Jayapura, salah satu rumah sakit rujukan terbesar di Papua. Sayangnya, nyawa Irene tidak tertolong. Ia menghembuskan napas terakhir saat masih berada dalam perjalanan menuju rumah sakit tersebut.

Peristiwa tragis ini memicu gelombang reaksi masyarakat Papua dan warganet nasional. Banyak yang mempertanyakan mengapa pasien dalam kondisi kritis harus diputar-putar dari satu fasilitas kesehatan ke fasilitas lainnya tanpa mendapatkan tindakan darurat.

Pemerintah Diminta Pastikan Tidak Terulang

Ashabul menegaskan bahwa persoalan ini tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa evaluasi menyeluruh. Ia menilai, kasus Irene bukan sekadar insiden tunggal, tetapi indikasi bahwa masih ada celah besar dalam manajemen rujukan, koordinasi antar rumah sakit, serta kepatuhan terhadap aturan pelayanan gawat darurat.

“Kita tidak ingin ada lagi warga yang kehilangan nyawa hanya karena pelayanan dasar tidak berjalan. Ini menjadi pekerjaan besar bersama bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh fasilitas kesehatan,” ujarnya.

Ia meminta agar seluruh rumah sakit di Indonesia kembali menegakkan standar pelayanan gawat darurat, memperbaiki mekanisme rujukan, serta memastikan tidak ada pasien yang ditolak dengan alasan teknis dan administratif.

“Setiap nyawa sangat berharga. Kegagalan memberikan pertolongan gawat darurat adalah pelanggaran kemanusiaan dan pelanggaran hukum,” tegas Ashabul.

Leave a Reply