Nama Tompi sudah tidak asing lagi di industri musik Indonesia. Selain dikenal sebagai penyanyi berbakat yang mampu menyatukan seni dan ilmu kedokteran, ia juga dikenal sebagai sosok yang vokal menyuarakan keadilan bagi musisi. Baru-baru ini, Tompi membuat kejutan dengan mengungkapkan keresahannya terhadap sistem royalti musik di Indonesia yang menurutnya “mengerikan” dan jauh dari kata adil.
Curahan hati Tompi membuka mata kita tentang sebuah masalah yang selama ini mungkin luput dari perhatian publik: betapa beratnya beban royalti bagi para musisi, bahkan ketika mereka membawakan lagu ciptaan mereka sendiri. Pernyataan Tompi yang menyebut bahwa ia harus membayar royalti untuk nyanyi lagu sendiri dan jumlah setoran yang harus dibayarkan bisa lebih besar daripada royalti yang diterimanya dalam setahun adalah bukti nyata bahwa ada ketidakseimbangan yang serius dalam sistem ini.
Secara prinsip, royalti merupakan sumber penghasilan penting bagi pencipta karya sebagai bentuk penghargaan atas hak cipta yang melekat padanya. Namun data dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) menunjukkan bahwa hanya sekitar 20-30% dari total royalti yang sebenarnya sampai secara langsung ke musisi dan pencipta lagu. Sisanya banyak terserap biaya administrasi dan operasional pengelola royalti, serta berbagai potongan lain.
Royalti Bernilai Sebagai Hak Musisi, Bukan Beban
Bayangkan jika seorang penyanyi ingin tampil di sebuah event dengan membawa 15 lagu ciptaannya sendiri, seperti yang ingin dilakukan Tompi, namun akhirnya batal hanya karena tak sanggup membayar biaya royalti yang mencekik. Ini bukan hanya soal uang, tetapi juga soal kesempatan berekspresi dan berkarya.
Menurut data dari Creative Economy Agency (Bekraf) yang pernah melakukan survei di tahun 2023, sekitar 62% musisi independen merasa keberatan dengan mekanisme pembayaran royalti saat tampil di acara kecil atau pernikahan. Banyak dari mereka mengaku honor yang didapatkan terkadang habis hanya untuk membayar royalti, sehingga berdampak pada minat mereka untuk terus tampil dan berkarya.
Tompi juga menyoroti masalah lemahnya transparansi dalam pengelolaan royalti. Ia mengungkapkan, “Banyak orang yang sama terus yang mengatur sistem ini, menyebabkan sulitnya perubahan dan pembaruan.” Pernyataan ini mendapat dukungan dari sejumlah musisi lain yang menyatakan bahwa pengelolaan royalti terkadang terasa seperti “monopoli tertutup” dan sulit diakses oleh musisi secara luas.
Ketidaktransparanan dan Monopoli dalam Pengelolaan Royalti
Sistem pengelolaan royalti di Indonesia dikelola oleh beberapa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), yang bertugas menyalurkan royalti kepada pencipta lagu dan musisi. Namun, investigasi yang pernah dilakukan oleh beberapa media nasional mengungkapkan bahwa proses distribusi royalti ini penuh dengan ketidakjelasan. Laporan yang sama menyebutkan bahwa ada penundaan pembagian royalti hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, serta kurangnya laporan keuangan yang terbuka untuk umum dan para anggotanya.
Akademisi dari Universitas Indonesia, Dr. Rini Saraswati, dalam sebuah seminar tahun 2024 menyatakan, “Transparansi adalah kunci dalam pengelolaan royalti yang sehat. Tanpa transparansi, musisi akan kehilangan kepercayaan dan berujung pada kemunduran industri musik nasional.”
Dalam konteks global, negara-negara maju telah menjalankan sistem pengelolaan royalti yang lebih transparan dan efisien. Di Amerika Serikat, misalnya, Performing Rights Organizations (PROs) seperti ASCAP dan BMI menggunakan teknologi digital untuk memantau penggunaan karya musik dan mendistribusikan royalti secara otomatis dengan laporan yang dapat diakses oleh pencipta lagu melalui platform daring. Model ini meningkatkan akuntabilitas dan memastikan musisi mendapat hak mereka tepat waktu dan sesuai jumlah yang seharusnya.
Peran Pemerintah dan Pelaku Industri
Sebagai negara dengan keragaman budaya dan kekayaan musik yang melimpah, Indonesia seharusnya memiliki sistem royalti yang adil dan mendukung musisi agar terus berkarya dan berkembang. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah berupaya mendorong digitalisasi pengelolaan hak cipta. Namun, upaya ini masih menghadapi tantangan besar di lapangan terkait standardisasi data dan koordinasi antar lembaga.
Ketua Asosiasi Industri Rekaman Indonesia, Bapak Arief Putra, pernah menyampaikan, “Kami mendukung adanya reformasi sistem royalty yang berorientasi pada keadilan dan transparansi agar seluruh pemangku kepentingan merasa diuntungkan dan sistem tidak abusif terhadap musisi.”
Regulasi yang jelas dan transparan harus diterapkan agar tidak ada celah penyalahgunaan wewenang dan memastikan pembagian royalti berlangsung secara adil. Digitalisasi proses pengelolaan royalti bisa menjadi solusi untuk meningkatkan transparansi dan memudahkan pemantauan. Teknologi informasi memungkinkan pelacakan hak cipta secara akurat dan distribusi pembayaran yang tepat waktu kepada para musisi.
Mendorong Musisi Tetap Berkarya dan Tumbuh
Sistem royalti yang sehat akan memberi manfaat besar tidak hanya bagi musisi, tetapi juga bagi pertumbuhan industri musik nasional. Semakin kecil hambatan biaya, semakin besar pula kesempatan para musisi muda dan baru untuk berekspresi, berinovasi, dan membuktikan kualitas karya mereka.
Dalam wawancara dengan salah satu penyanyi pendatang baru tahun 2024, Dhea Ayu, dia berbagi pengalaman, “Saya sempat ragu untuk ikut event musik kecil karena biaya royalti yang harus saya bayar cukup membebani. Jika sistemnya lebih ringan dan transparan, saya yakin banyak musisi muda akan lebih bersemangat tampil dan berkarya.”
Dukungan dari sistem royalti yang adil juga akan membuat musisi lebih terpacu untuk menciptakan lagu-lagu yang punya dampak positif, baik secara budaya maupun ekonomi. Sebaliknya, sistem yang berat sebelah dan membebani musisi hanya akan menyebabkan stagnasi dan bahkan migrasi talenta ke sektor lain.
Leave a Reply