Jakarta, CNBC Indonesia – Pusat perbelanjaan di Jakarta kini tak hanya ramai oleh pengunjung yang berbelanja, tetapi juga oleh fenomena baru yang mencuri perhatian: Rojali dan Rohana. Dua istilah ini merujuk pada kebiasaan sebagian masyarakat yang datang beramai-ramai ke mal dan restoran, namun jarang membeli atau hanya sekadar bertanya tanpa benar-benar melakukan transaksi.
Rojali, atau rombongan jarang beli, dan Rohana, rombongan hanya nanya, kini menjadi gambaran nyata perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Fenomena ini tidak hanya menarik secara sosial, tapi juga menjadi sinyal perubahan perilaku belanja masyarakat yang berdampak langsung pada pelaku usaha.
Nongkrong Lama, Pesan Seadanya
Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, mengakui fenomena ini kian sering terlihat di berbagai pusat perbelanjaan, termasuk restoran-restoran dalam mal. Ia menyebut bahwa aktivitas tersebut memang bisa dimaklumi sebagai bentuk hiburan, namun dari sisi bisnis, ada dampak signifikan yang dirasakan pelaku usaha, khususnya di sektor kuliner.
“Fenomena Rojali-Rohana memang sedang tren ya. Orang-orang datang ke restoran atau kafe, tapi hanya beli minum satu, lalu ngobrol dua jam. Itu jadi bagian dari hiburan mereka, tapi jelas merugikan kami sebagai pengusaha,” ujar Sutrisno saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (29/7/2025).
Ia menjelaskan, pengunjung seperti ini umumnya hanya memesan makanan ringan atau minuman, tapi menghabiskan waktu yang cukup lama. Alhasil, meja yang tersedia menjadi penuh, sehingga pelanggan lain yang berniat makan sungguhan harus menunggu atau bahkan membatalkan niatnya karena antrean yang tak kunjung bergerak.
“Bayangkan, ada yang datang pesan satu kopi, duduk dua jam. Sementara ada keluarga yang ingin makan, tapi tidak dapat tempat. Akhirnya mereka pergi. Itu jelas merugikan,” tambahnya.
Rencana Pembatasan Waktu Duduk
Melihat tren ini semakin meluas, Sutrisno mengungkapkan bahwa para pelaku usaha mulai mempertimbangkan pembatasan waktu duduk di restoran, terutama pada jam-jam ramai. Namun, kebijakan semacam itu tentu perlu diterapkan secara halus agar tidak menimbulkan kesan negatif di mata pelanggan.
“Kami sedang memikirkan langkah preventif, misalnya membatasi durasi duduk per pelanggan. Jika waktunya lewat, maka pelanggan diminta untuk memesan lagi. Tapi tentu itu harus dilakukan dengan cara-cara yang sopan, tidak langsung mengusir,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa pembatasan tersebut bukan semata-mata demi keuntungan restoran, tetapi juga untuk memastikan agar pelanggan yang benar-benar ingin makan bisa dilayani dengan baik dan tidak merasa terabaikan.
Bukan Sekadar Gaya Hidup, Tapi Tanda Tekanan Ekonomi
Fenomena ini ternyata juga menjadi perhatian pemerintah. Badan Pusat Statistik (BPS) menilai bahwa tren Rojali dan Rohana merupakan refleksi dari perubahan perilaku konsumsi masyarakat yang tengah menyesuaikan diri dengan tekanan ekonomi.
Ateng Hartono, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, menjelaskan bahwa berdasarkan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Maret 2025, terlihat adanya kecenderungan penurunan konsumsi, terutama dari kelompok masyarakat menengah atas. Mereka kini lebih selektif dalam membelanjakan uang, dan memilih aktivitas yang hemat biaya namun tetap memberikan hiburan, seperti nongkrong di mal tanpa belanja.
“Dari data kami, kelompok atas memang sedikit menahan konsumsinya. Tapi fenomena ini tidak otomatis mencerminkan kemiskinan, karena yang melakukan ini bukan hanya kelompok bawah, tetapi juga kelas menengah hingga atas,” ujarnya.
Namun demikian, BPS menilai Rojali dan Rohana tetap menjadi sinyal penting bagi pembuat kebijakan, bahwa fokus pembangunan ekonomi tidak boleh hanya sebatas menurunkan angka kemiskinan. Pemerintah juga perlu memperkuat ketahanan konsumsi rumah tangga, khususnya pada kelompok rentan dan menengah ke bawah.
“Ini adalah indikator sosial bahwa ada tekanan, terutama di kelas rentan. Mereka masih ingin bersosialisasi atau hiburan, tapi dengan cara yang murah. Ini perlu direspon secara bijak,” terang Ateng.
Apa Dampaknya ke Depan?
Jika fenomena ini terus berlanjut, para pelaku usaha perlu melakukan penyesuaian strategi. Bukan hanya sekadar pembatasan waktu duduk, tapi juga inovasi dalam pelayanan dan promosi agar tetap bisa menarik pelanggan yang benar-benar melakukan transaksi.
Di sisi lain, pemerintah juga dihadapkan pada tantangan untuk menjaga daya beli masyarakat dan memastikan bahwa kelas menengah tidak terjebak dalam situasi stagnasi konsumsi yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi.
Fenomena Rojali dan Rohana mungkin terlihat lucu di permukaan. Tapi di baliknya, ada cermin perubahan besar dalam lanskap sosial-ekonomi Indonesia.
Sumber: CNBCIndonesia.com
Leave a Reply