satuklikmedia.com
  • Home
  • News
  • Politik
  • Sport
  • Ekobis
  • Lifestyle
  • Infotainment
  • Otomotif
  • Teknologi
  • Opini
satuklikmedia.com
× satuklikmedia.com
  • Home
  • News
  • Politik
  • Sport
  • Ekobis
  • Lifestyle
  • Infotainment
  • Otomotif
  • Teknologi
  • Opini

© Copyright 2025 satuklikmedia.com - All right reserved

  • Home
  • News
  • Politik
  • Sport
  • Ekobis
  • Lifestyle
  • Infotainment
  • Otomotif
  • Teknologi
  • Opini

Tag Archives: Desentralisasi

Desentralisasi, Keterbatasan Fiskal, dan Inovasi Pemerintah Daerah di Indonesia Arief Wicaksono Dosen FISIP, Direktur Pusat Studi Desentralisasi dan Kerja Sama Global Universitas Bosowa Dalam beberapa tahun terakhir, wajah otonomi daerah di Indonesia menghadapi tantangan pelik yang memerlukan refleksi mendalam. Salah satu isu krusial adalah penurunan tajam transfer keuangan dari pusat ke daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Pemerintah hanya mengalokasikan Rp650 triliun untuk daerah, turun hampir 29 persen dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp919 triliun. Sebaliknya, belanja pemerintah pusat justru meningkat 17,8 persen, dari Rp2.663,4 triliun menjadi Rp3.136,5 triliun. Kondisi ini menunjukkan ketimpangan, di mana pusat “menikmati” kenaikan belanja, sementara daerah harus mencari celah pembiayaan melalui sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terbatas. Flypaper Effect Realitas desentralisasi fiskal di Indonesia masih ditandai ketergantungan akut daerah terhadap dana transfer pusat. Data Kementerian Dalam Negeri pada 2025 mencatat, rata-rata kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah baru mencapai 37,5 persen. Hanya 14 provinsi dari 38 yang PAD-nya berada di atas rata-rata, sementara 20 provinsi masih mengandalkan transfer pusat lebih dari 60 persen kebutuhan belanja. Pada level kabupaten/kota, situasinya lebih ekstrem. Ada daerah yang ketergantungannya terhadap dana transfer bahkan mencapai lebih dari 800 persen dari PAD, seperti Kabupaten Bangli (Bali). Hanya beberapa daerah, misalnya Denpasar dan Gianyar, yang sudah mampu menekan ketergantungan hingga berada di kisaran 114–182 persen dari PAD mereka. Fenomena ini dikenal sebagai flypaper effect, yakni kondisi di mana transfer pusat justru melemahkan motivasi daerah menggali PAD. Dengan adanya “jaminan” dana dari pusat, banyak pemerintah daerah cenderung pasif dalam mengoptimalkan potensi lokal. Dampaknya, kebijakan fiskal seringkali ditempuh dengan cara mudah, seperti menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), ketimbang mencari terobosan baru. Efek Domino Langkah menaikkan PBB-P2 kini menjadi jalan pintas yang ditempuh sejumlah daerah, seperti Kabupaten Pati, Bone, dan Jombang. Kenaikan yang mencapai 250 hingga 1000 persen dilakukan untuk menutup kekurangan anggaran pembangunan. Namun, kebijakan ini menimbulkan efek domino. Protes dari masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, pensiunan, dan pelaku UMKM, merebak. Lonjakan pajak menggerus daya beli, mengurangi likuiditas usaha, dan menurunkan kepatuhan pajak. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi memperlambat pembangunan serta melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Padahal, transfer pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) semestinya menjadi pemicu transformasi. Pemerintah daerah bukan hanya berperan sebagai pengelola dana, tetapi juga harus mampu menjadi inovator fiskal dan pelayan publik. Sayangnya, data APBD 2023–2024 menunjukkan sebagian kabupaten/kota justru mengalami penurunan kemandirian fiskal hingga di bawah 30 persen karena lemahnya agresivitas penggalian PAD. Tantangan Pemerintah Daerah Selain keterbatasan fiskal, praktik desentralisasi juga dibebani masalah klasik: tumpang tindih kewenangan, perubahan regulasi yang kerap berulang, serta minimnya koordinasi antara pusat dan daerah. Ditambah lagi, keterbatasan kapasitas birokrasi membuat respons kebijakan di daerah cenderung reaktif dan pragmatis. Dalam banyak kasus, pemerintah daerah memilih kebijakan yang paling mudah dan berorientasi jangka pendek. Peningkatan pajak dianggap solusi instan, padahal ada alternatif yang lebih berkelanjutan, seperti pengembangan sumber pendapatan inovatif, optimalisasi aset, dan kolaborasi lintas sektor. Mendorong Inovasi dan Akuntabilitas Guru besar otonomi daerah, Prof. Ryaas Rasyid, pernah menegaskan bahwa pemangkasan dana transfer pusat seharusnya menjadi momentum inovasi, bukan sekadar alasan untuk membebani rakyat. Pandangan ini relevan di tengah kondisi fiskal saat ini. Pemerintah pusat perlu memberikan ruang lebih besar bagi daerah untuk berkreasi, tetapi dengan pengawasan yang ketat agar pengelolaan fiskal tetap akuntabel. Di sisi lain, kepala daerah dituntut membangun kapasitas birokrasi yang adaptif, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan warga. Keterbukaan data, partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan, serta pemberian insentif untuk peningkatan kualitas pelayanan publik harus menjadi strategi utama. Otonomi daerah yang sehat hanya bisa terwujud melalui kombinasi inovasi, akuntabilitas, dan kolaborasi. Menjaga Spirit Desentralisasi Otonomi daerah yang lahir dari semangat Reformasi 1998 sejatinya dirancang untuk memberdayakan masyarakat dan mendorong kreativitas lokal. Namun, perjalanan panjang desentralisasi menunjukkan masih kuatnya tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah. Alih-alih memperkuat kemandirian, pola sentralisasi gaya baru justru kembali menguat. Penurunan transfer dana ke daerah memang perlu dilihat sebagai upaya efisiensi anggaran nasional. Tetapi langkah ini harus diimbangi dengan reformasi birokrasi di tingkat pusat yang masih gemuk dan kurang teladan. Supervisi, asistensi, dan pendampingan terhadap kepala daerah harus menjadi prioritas, agar inovasi dapat tumbuh dan praktik kebijakan “jalan pintas” dapat dihindari. Ke depan, peta jalan desentralisasi harus menempatkan pemerintah daerah sebagai motor penggerak pembangunan. Kebijakan fiskal perlu berpihak pada kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar angka di atas kertas. Hanya dengan inovasi, akuntabilitas, dan kolaborasi, semangat desentralisasi dan otonomi daerah dapat benar-benar terwujud demi pemerintahan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Desentralisasi, Keterbatasan Fiskal, dan Inovasi Pemerintah Daerah di Indonesia

  • News, Opini
  • Agustus 23, 2025 - 17:28

Arief WicaksonoDosen FISIP, Direktur Pusat Studi Desentralisasi dan Kerja Sama Global Universitas Bosowa Dalam beberapa […]

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber

© Copyright 2025 satuklikmedia.com - All right reserved